Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai 17.499 pulau dan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2, serta panjang garis pantai yang mencapai 81.900 km2. Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut, implikasinya adalah hanya ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut. Perbatasan laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara diantaranya Malaysia, Singapura, Filipina, India, Thailand, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sedangkan untuk wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, danTimor Leste dengan panjang garis perbatasan darat secara keseluruhan adalah 2914,1 km.
Daerah perbatasan merupakan wilayah pembelahan kultural sebuah komunitas yang dianggap berasal dari satu akar budaya yang sama namun oleh kebijakan pemerintah dua negara bertetangga, akhirnya dibagi menjadi dua entitas yang berbeda. Daerah perbatasan juga merupakan cerminan dari tingkat kemakmuran antara dua negara dan tidak jarang, daerah ini menjadi ajang konflik antara penduduk yang berbeda kewarganegaraannya karena tujuan-tujuan tertentu. Bahkan daerah perbatasan merupakan salah satu wilayah yang potensial untuk melakukan penyelundupan dan merugikan negara dalam jumlah besar, bahkan kerugian negara untuk darat dan laut bila dinominalkan bisa mencapai ± 20 milyar US$ per tahun. Sedangkan Kemiskinan merupakan masalah klasik di daerah perbatasan, yang sampai sekarang belum tuntas ditangani. Daerah perbatasan juga sangat rawan terjadi tindak illegal logging dimana penyebabnya adalah beberapa patok tapal batas Indonesia dan negara tetangga, yaitu Malaysia, rusak dimakan waktu serta hilang atau terkubur oleh alam.
Menyadari fenomena permasalahan perbatasan ini, kiranya perlu upaya konkret untuk mengantisipasi dan meminimalisasi persoalan tersebut. Luasnya wilayah perbatasan laut dan darat Indonesia tentunya membutuhkan dukungan sistem manajemen perbatasan yang terorganisir dan profesional, baik itu ditingkat pusat maupun daerah. Potensi permasalahan yang banyak dan kompleks itu tentu saja tidak dapat diatasi secara parsial tetapi memerlukan penanganan yang serentak dan menyeluruh. Seluruh elemen baik itu Pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, TNI, Kepolisian, imigrasi, serta bea dan cukai bertanggung jawab untuk terlibat secara langsung penanganan permasalahan daerah perbatasan. Walaupun otoritas pengelolaan keamanan di perbatasan sendiri telah lama diserahkan kepada TNI sebagai wujud dari penerapan Undang-Undang No. 34, tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia (TNI) bahwa wewenang untuk menjaga keamanan di area perbatasan adalah salah satu fungsi pokok dari TNI. Akan tetapi Pemda harus lebih intens lagi memperhatikan daerah perbatasan yang menjadi kewenangannya sesuai dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pengaturan tentang pengembangan wilayah perbatasan di kabupaten/kota secara hukum berada dibawah tanggung jawab pemerintah daerah tersebut. Kewenangan pemerintah pusat hanya ada pada pintu-pintu perbatasan (border gate) yang meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian, karantina, keamanan dan pertahanan (CIQS). Meskipun demikian, pemerintah daerah masih menghadapi beberapa hambatan dalam mengembangkan aspek sosial-ekonomi kawasan perbatasan.
Tidak dipungkiri daerah perbatasan memiliki nilai strategis dan seluruh pilar komponen bangsa hendaknya bersatu padu dengan visi dan misi untuk membangun daerah perbatasan dan seluruh petinggi negeri memahami dan mengerti serta tahu akan pentingnya daerah perbatasan sebagai pondasi untuk menopang wilayah yang bersebelahan dengan Negara tetangga. Bahkan seminar mengenai daerah perbatasan sudah berulang kali akan tetapi belum kelihatan greget realisasinya. Sebagai contoh daerah perbatasan Kalimantan dan Malaysia dimana masalah frontier ekonomi yang menjadi kendala berporos pada dibutuhkannya anggaran yang besar untuk membangun perekonomian penduduk daerah perbatasan, sementara kehidupan penduduk negara tetangga perekonomiannya jauh lebih baik. Dari berbagai persoalan yang muncul seperti illegal logging, human trafficking maupun penyerobotan wilayah ini, maka melahirkan persepsi bahwa wilayah perbatasan adalah rawan dan rentan terhadap konflik dan pelanggaran hukum tanpa memperhatikan persoalan-persoalan lain. Sebagai akibatnya wilayah perbatasan selalu didefinisikan dan dipahami secara hitam putih dengan cap negatif. Hal ini merupakan satu sisi dari realita perbatasan yang jauh lebih kompleks dan berwarna.
Semua pihak hendaknya merasa pembangunan daerah perbatasan adalah kewajiban yang harus direalisasikan bersama. Pihak Pemda merencanakan melalui surve, studi kelayakan dalam merencanakan pembangunan prioritas apa yang harus didahulukan dan hendaknya harus sinkron antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat termasuk pemecahan dan jalan keluarnya, karena tanpa adanya kerjasama yang harmonis, tidak mungkin akan tercipta kesinambungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan masalah daerah perbatasan. TNI sendiri telah berusaha dengan keras menjaga wilayah perbatasan khususnya sepanjang kawasan perbatasan Kaltim dan Kalbar dengan negara Malaysia telah dibangun 41 pos serta ditempatkan sejumlah personil TNI guna pengamanan dan memperkecil kemungkinan pelanggaran terhadap kedaulatan perbatasan Indonesia. Walaupun dalam pelaksanaan tugasnya, personel TNI tanpa didukung sarana dan prasarana yang memadahi semisal kendaraan khusus untuk patroli, sedangkan tiap pos jaraknya bisa mencapai lebih dari 50 Km. Jadi “seelit” apapun pasukan TNI yang ditugaskan dengan beban tugas yang sangat berat dimana harus melalui hutan belantara, maka akan terasa sulit dan diluar kemampuan untuk menghadapi gangguan keamanan yang muncul pada wilayah perbatasan.
Alternatif penanganan yang bisa saya munculkan sebagai sumbang saran bagi pemerintah adalah penambahan pos perbatasan serta penambahan personel TNI yang dilengkapi dengan sarana pendukungnya dan tidak kalah penting tentunya pemberian stimulus dalam bentuk konkret untuk merangsang semangat para prajurit yang bertugas di daerah perbatasan. Perlunya direalisasikan pembangunan sabuk pengaman. Sebab sabuk pengaman dipandang penting dalam menetralisir segala kejahatan. Manfaat lain sabuk pengaman itu sendiri adalah dapat diwujudkan untuk meningkatkan kegiatan-kegiatan perekonomian masyarakat, sehingga seluruhnya bermuara kepada peningkatan pertahanan kita. Terlebih bila sentra-sentra ekonomi melalui kegiatan pemda diteruskan dengan bimbingan kepada masyarakat sebagai petani plasma, sehingga melalui pembangunan sabuk pengaman serta pembangunan sentra-sentra ekonomi masyarakat sekitar perbatasan maka pertahanan secara otomatis akan meningkat dan terwujud kokohnya pertahanan nasional di daerah perbatasan.
Bilamana negara belum mampu membangun sabuk pengaman, maka dapat ditemukan alternatif lain seperti melibatkan pengusaha pribumi dengan kompensasi dari negara dengan pembebasan lahan kanan kiri sabuk pengaman serta pelebaran tertentu yang kemudian dapat diambil hasil hutannya dan dikompensasikan dalam bentuk jalan, yang selanjutnya bisa dimanfaatkan sebagai perkebunan sekaligus diarahkan kepada masyarakat setempat dalam hal pengelolaannya melalui pembinaan yang intensif sebagai petani-petani plasma. Alternatif ini hanya tercetus dari keinginan seorang penulis yang kiranya belum teramat mendalami permasalahan diatas namun memiliki keyakinan bahwa pembangunan masyarakat daerah perbatasan tujuannya adalah meningkatkan pertahanan nasional dan juga dalam rangka menghadapi krisis global. Sebab masalah daerah perbatasan adalah masalah bagi kita semua elamen bangsa dan diharapkan semua ikut andil pemikiran untuk bersama-sama memecahkannya sebagai bentuk peduli kita pada kedaulatan bangsa Indonesia.
(Penulis adalah Kasubbag Anev, Bag Opini, Biro Humas Setjen Dephan)
http://www.dmcindonesia.web.id/modules.php?name=News&file=article&sid=595
Tidak ada komentar:
Posting Komentar