Senin, 04 Januari 2010

Sebuah ajakan kepada cinta

Rabi’ah Al-adawiyah mengajak manusia ke kehidupan cinta, imbauan yang terbuka. Secara luas dan terinci, ia melukiskan sejumlah keajaiban cinta sebagai berikut:
“Sungguh, cinta dapat mengubah yang pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara berubah telaga, derita beralih nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancur-leburkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kchidupan padanya, serta membuat budak menjadi pemimpin.”
Cinta adalah sayap yang sanggup menerbangkan manusia yang membawa beban berat ke angkasa raya, dan dari kedadaman mengangkatnya ke ketinggian, dari bumi ke bintang Tsuraiyya.
Bila cinta ini berjalan di atas gunung yang tegar, maka gunung pun bergoyang-goyang dan berlenggang dengan riang.
Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung, kejadian tersebut menjadikan gunung itu hancur-luluh dan Musa pun jatuh pingsan. (al-A'raat; i43).
Rabi’ah Al-adawiyah menyebut cinta ibarat orang kaya yang tidak mau terhina dan tak silau oleh kekuasaan. Barang siapa pernah mencicipinya sekali saja, ia akan merasakan nikmatnya yang tiada tara. Ia berkata: "Sesungguhnya cinta itu tidak memerlukan segala yang terhidang di alam semesta ini. Jika orang yang gandrung kekasih adalah pemimpin orang-orang gila.
Cinta adalah raja diraja, di mana seluruh keluarga para raja dan mahkotanya tunduk kepadanya. Semua raja akan melayaninya seolah mereka para hamba sahaya.
Bila Rabi’ah Al-adawiyah berbicara tentang cinta sedemikian hangatnya, itu lantaran ia memang telah mabuk kepayang. Dengan lantang ia berkata: “Semoga Allah memberkati para budak materi dan para hamba tubuh serta para pemilik harta-benda. Sedikit pun aku tidak merasa iri dan hendak memperebutkannya bersama mereka. adapun aku sendiri akan tetap mengelola kekuasaan cinta, cinta yang tidak akan pernah musnah atau bcrubah.”
“Semua penderita penyakit tentu mengharapkan kesembuhan, kecuali para penderita sakit cinta, yang malahan ingin terus menanggungkannya. Mereka bertambah senang kalau semakin bingung. Aku benar-benar tidak pernah menemukan minuman yang lebih manis ketimbang racun jenis ini. Aku juga tidak pernah melihat ada kesehatan yang lebih utama daripada penyakit tadi itu.”
“Sesungguhnya cinta adalah penyakit. Cuma, ia adalah jenis penyakit yang mampu menyembuhkan segala penyakit. Jika sekali manusia ditimpa penyakit ini, akan selamanya ia tidak bakal pernah tertimpa penyakit apa pun. Cinta adalah obat jiwa, bahkan jiwa kesehatan itu sendiri. Orang-orang yang digelimangi kenikmatan dan kesenangan ingin sckali membeli cinta dengan kenikmatan dan kesenangan yang mereka miliki itu.”
Maka, Rabi’ah Al-adawiyah seakan-akan menentang ucapan seorang penyair Arab ini:
Aku mempunyai hati yang terluka
Tiada seorang manusia pun mau, mereka tak mau membelinya
Memang, siapa mau beli penyakit dengan imbalan sesuatu yang sehat.
Seandainya lelaki yang hatinya terluka tadi mengetahui nilai hatinya yang tcrluka, tcntu ia tidak akan mcnawarkan untuk dijual. Ia tentu akan mempertahankannya. Dan seandainya manusia tahu akan harga hati yang terluka, pasti langsung mereka akan membelinva, dcngan nilai tukar apa pun juga. Scbab, apalah artinya hati yang tak terluka ia sama saja nilainya dengan seonggok daging atau sebuah batu.
Cinta yang jernih lagi luhur seperti itu mampu mengantarkan manusia kepada suatu tujuan yang sulit dicapai lewat ibadah dan mujahadah. “Aku sama sekali tidak pernah melihat kepatuhan yang keutamaannya melebihi dosa ini - bagi orang menamakannya sebagai dosa. Bcrapa tahun dihabiskan hanya untuk cinta, tidak sesuatu pun yang menyamainya kecuali saat-saat mcnikmati cinta.
”Darah yang mcngalir demi cinta jclas tidak diragukan lagi kesuciannya. Orang yang mati syahid demi cinta tidak perlu lagi dimandikan.”
"Sesungguhnya darah para syahid lebih utama daripada air yang suci. Segala kesalahannya akan dilebur, kalau memang ia mempunyai kesalahan.”
“Orang-orang yang mencinta, yang mengorbankan jiwa dan membakar hatinya, tidak tembus oleh undang-undang umum dan tidak tunduk pada peraturan yang mcngatur.”
Dalam konteks ini, Rabi’ah Al-adawiyah membuat sebuah perumpamaan yang mcngena. Katanya: “Sebuah kampung yang telah dirubuhkan dan dimusnahkan, tak perlu lagi mendapat kewajiban membayar upeti atau pajak.”
Rabi’ah Al-adawiyah juga mencoba rnembuat perbandingan antara cinta yang bcrsih dan akal yang cerdik. yaitu. “Cinta adalah pusaka (warisan ) Bapak kita, Adam. Sedangkan kecerdikan adalah nyanyian setan, orang cerrdik dan bijaksana pada hakekatnya bersandar pada nafsu diri. Memakai akalnya seperti berenang yang adakalanya bisa mengantarkan seseorang ke pantai tetapi tidak jarang malahan malahan menenggelamkannya. Sedangkan cinta ibarat perahu Nabi Nu, yang membuat penumpangnya tidak perlu merasa khawatir akan tenggelam”.
Berkata Rabi’ah Al-adawiyah: “Aku seringkali menyaksikan orang yang pandai berenang tctapi ternyata tenggelam di lautan yang sangat dalam. Namun, aku tak pcrnah melihat ada perahu iman dan cinta yang karam.”
Rabi’ah Al-adawiyah menambahkan: "Kelezatan yang dirasakan orang yang mencintai tidaklah terimbangi oleh ccngkeraman orang yang dicinta
Bila orang yang dicinta mengetahui kenikmatan yang dirasakan orang yang dengan tulus mencintai, tentu ia akan mengharapkan menjadi seorang pecinta. Mereka akan keluar dari kelompok orang yang dicintai - yang penuh kebahagiaan dan suka-cita untuk kemudian bergabung dengan para pecinta yang justru penuh derita.”
Untuk siapa cinta itu?
Tetapi pertanyaan penting yang timbul sekarang ialah: Kcpada siapakah cinta yang merupakan cahaya kehidupan dan nilai manusia ini harus diperuntukkan? “Sesungguhnya cinta itu kekal. Jadi harus dibcrikan kcpada yang kekal pula. Tidak pantas diberikan kepada yang ditakdirkan menjadi fana dan binasa. Cinta adalah suatu kenyataan yang hidup, yang tidak bakal rnati, dan yang senantiasa melimpahkan kchidupan kepada sctiap yang ada. Dalam kaitan ini, Rabi’ah Al-adawiyah sengaja menunjuk kepada kisah Nabi Ibrahim ketika mcngatakan:
“Saya tidak mencintai semua yang lenyap”. (al-An'am, 76).
“Sesungguhnya cinta ini mcngalir dalam diri orang yang dilaluinya, scpcrti darah. Jika cinta diletakkan pada tempatnya yang sesuai, la laksana matahari yang tak kunjung tenggelam, atau bagai bunga indah yang tak bakal layu. Oleh karena itu, carilah cinta suci vang abadi, cinta yang akan memusnahkan segala sesuatu, yang mampu menyegarkan rasa dahagamu. Tetaplah Anda dalam kandungan cinta sepcrti ini, cinta yang pernah dirasakan oleh para Nabi tcrdahulu.”
Tidak ada alasan buat berputus-asa
Namun, bagaimanapun seharusnya orang yang mencinta tidak bolch merasa kurang dan rendah diri. Misalnya karena yang dicintainya terlalu tinggi kedudukannya, terlalu kaya, dan tidak memerlukan apa pun di alam semcsta ini.
Kekasih yang hakiki adalah yang suka bila dicintai dan senang kepada orang yang merasa tertarik kepadanya.
Allah menarik ke haribaanNya orang yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada-(agama)Nya orang yang kembali kepadaNya. (asy-Syuraa, 13).
Rabi’ah Al-adawiyah dengan membesarkan hati berkata: “Jangan katakan tidak ada jalan menuju kepada Raja Yang Maha Agung itu. Aku memang seorang hamba yang lain hina-dina, sedangkan Dia Raja Yang Maha Mulia. Tetapi, Dia selalu memanggil hambaNya dan memudahkan jalan menuju kepadaNya.”
Masih tentang cinta, Rabi’ah Al-adawiyah mengatakan: “Sekilas bagi orang vang melihatnya, cinta adalah penyakit yang susah sekali diobati. Dan memang begitulah kenyataannya. Orang yang dirundung sakit cinta selalu dalam keadaan menderita dan tersiksa. Akan tetapi jika dia menanggungkannya dengan sabar dan penuh ketabahan, tentu ia akan sampai pada makrifat hakiki yang abadi.”
“Sesungguhnya, cinta yang membuat orang mabuk, pecahnya hati dan terlukanya sukma. Karena, cinta adalah penyakit yang tidak bisa diserupakan dengan jenis penyakit apa pun. Penyakit cinta berbeda dcngan segala macam penyakit yang ada di dunia ini. Dan cinta itu pula yang dapat menguak rahasia-rahasia Ilahi.”
Rabi’ah Al-adawiyah berulangkali menandaskan bahwa cinta memang suatu penyakit. Namun, ia bisa menjadi penawar (obat) bagi segala macam penyakit yang ada, yang bersifat fisik maupun psikis. Semua jenis penyakit yang sulit diobati dokter dan susah disembuhkan, bahkan vang dapat membuat penderitanya putus asa, semuanya bisa ditangkal dengan “resep” cinta. Dan bila orang yang sudah putus asa itu merasa sembuh dari penyakitnya, ia tentu akan memekik gembira dan bersyukur: “Semoga Allah tetap menghidupkan wahai cinta yang merana, wahai tabib penyembuh penyakit dan rasa sakitku, wahai penangkal kecongkakan dan kesombonganku, wahai dokterku yang mahir, wahai dukunku yang ahli.”
Cinta memang bara api yang siap menyala dan apabila disulut ia akan membakar segalanya selain diri pecinta, sehingga tidak ada lagi yang namamya sombong, congkak, pengecut, takut, khawatir, sedih, iri, dan kikir dalam dirinya. Semua aib yang melekat pada jiwa akan musnah seluruhnya. Sungguh, gelombang cinta mampu menyapu belukar dan merambat ke dalam jiwa laksana lidah api yang menjilati dedaunan kering.
"Cinta adalah bara api yang siap menyala dan mcmbakar segalanya, selain yang dicinta. Tauhid adalah pedang yang jika diayunkan oleh pemiliknya, akan dapat membabat semuanya, selain Allah. Semoga Allah senantiasa rnenghidupimu! semoga Allah selalu memanjangkan usiamu, wahai cinta yang tak kenal sekutu”
Setelah dengan panjang lebar rnenerangkan seluk-beluk cinta dan memuji-mujinya, Rabi’ah Al-adawiyah selanjutnya bcrkata: “Cerita mengenai cinta tidak ada habis-habisnya. Biar pun dunia harus fana, namun keajaiban-keajaiban cinta tak pernah kering. Sebab, dunia mempunyai batas dan akhir, sedangkan cinta adalah sitat Dzat yang tak bakal fana dan tak akan mati.”
Alam hati
Narnuu, tidak ada sesuatu jalan pun yang mampu mengantarkan rnanusia kepada cinta, kecuali dengan hati yang selalu hidup. Pada masa Rabi’ah Al-adawiyah banyak kaum muslimin yang sengaja mendewa-dewakan akal. Itu tentu sikap yang dzalim dan berlebih-lebihan. Peranan hati dan perasaan diabaikan. Bila akal bersinar terang, maka hati menjadi redup kehilangan kehidupan dan kehangatannya. Perut besar menjadi suatu kutub yang dikelilingi oleh lingkaran kehidupan.
Rabi’ah Al-adawiyah kemudian mengungkapkan keadaan, kedudukan, dan kemuliaan hati, serta seluruh keajaiban dan potensi yang terkandung
di dalamnya, terhadap kehidupan manusia. Menurut Rabi’ah Al-adawiyah, di dalam tubuh manusia ditumbuhi semacam pepohonan dengan buah-buahannya kekal dan rnusim bunganya lestari. Di dalam tubuh yang kecil itu, juga ditemui sejenis alam yang justru lebih luas dari alam materi. Di sana tidak terdapat musuh pengganggu yang perlu dikhawatirkan, atau pencuri yang membahayakan kelestarian tanaman. “Sesungguhnya, hati adalah negeri makmur yang sentosa, benteng kukuh yang terjaga, serta petamanan yang diberkati dan dipenuhi nikmat. DI sana semua jenis buah-buahan bisa didapat setiap saat dengan seizin Tuhan."
Lebih lanjut Rabi’ah Al-adawiyah menuturkan bahwasanya usia kehidupan kebun-kebun alami tidak akan panjang, karena tidak bisa mengelak dari hama dan penyakit. Tetapi, pohon yang tumbuh di hati akan senantiasa subur dan bcrbuah. “Kebun-kebun alami itu lambat berkembang dan cepat musnah.” Sedangkan tanaman di hati cepat berkembang dan lestari. “petamanan jisim dalam waktu tidak lama akan kering-kerontang dan gersang, schingga berteriaklah pemiliknya. Adapun taman hati akan selalu subur dan pepohonannya senantiasa berbuah.”
Lumrah bila banyak orang yang berusaha memelihara kesehatan dan kemudaannya, serta ingin tetap muda dan kuat. Tetapi, sayangnya keinginannya itu tidak bakal terwujud. Kecuali, bila orang mau memperhatikan dan memelihara hatinya dengan baik, schingga semangatnya akan tetap muda, tubuhnya tetap segar, matanya tetap cemcrlang, ingatannya tetap tajam, dan ia tampak bergairah dan gembira.
“Pelihara dan pcrhatikanlah hati, supaya Anda selamanya tetap muda. Dari wajah Anda akan terpancar cahaya, sehingga membuatnya selalu cemerlang.”
“Pelihralah hati agar Anda tetap penuh vitalitas dan segar bagai anggur, atau seperti bunga mawar yang selalu mckar dan penuh keharuman.”
Tetapi sekali-kali Anda jangan sampai tertipu oleh kata “hati” yang dimaksud bukanlah sepotong daging yang tersembunyi di balik dada, yang di dalamnya penuh dengan keinginan dan kerusakan. Hati tidaklah bernama hati kalau ia belum pernah mencicipi rasa cinta, belum mengenal makna keyakinan, dan belum pernah sedikit pun merasakan kerinduan yang membuat pemiliknya kebingungan dan salah tingkah. Hati yang beku bukanlah hati namanya, melainkan sepotong batu atau kayu.
“Sesungguhnya, hati demikian akan bersifat picik dan menyesatkan, seperti hati orang-orang Yahudi yang tak pernah tersentuh oleh perasaan cinta Raja yang penuh kasih, yang membuat mereka selalu redup dan muram, tak bersinar, tidak lapang dan tak terbuka.”
Pada hakekatnya, antara hati yang mati dan hati yang hidup, persamaannya hanya dari segi lafal dan penyerupaan dalarn jisim saja. Sama bedanya antara air yang mengalir dari mata air yang bening dan yang mengalir di sungai yang keruh, kendati namanya sarna-sama air. Juga antara air yang sudah bercampur pasir serta lumpur dan air yang menggenang di paya-paya, walaupun semuanya discbut “air” pula. Cuma bedanya, yang pertama bisa digunakan untuk memuaskan dahaga dan pembersih serta pensuci, scdangkan yang disebut belakangan hanya dapat dipakai buat membasuhi kaki. Itulah beda antara hati yang satu dan hati yang lain. Hati para Nabi dan para kekasih Allah akan naik ke langit, sedangkan hati anak cucu Adam lainnya adalah hati dalam pengertian harfiah. Jadi bukan hati yang sebenarnya. Karena itu, jika Anda sering menyebut “hatiku” cobalah pikir apa yang Anda maksudkan.
“Anda mengatakan: hatiku, hatiku. Tetapi, apakah anda tahu bahwa sesungguhnya hati itu tcrmasuk amanat dari Atas, lumpur hitam jelas mengandung air, namun apakah Anda suka bila tangan Anda dibasuh dengan air bcrlumpur itu?” tentu saja tidak. Soalnya, meski juga mengandung air tetapi kandungan airnya sudah berlepotan dengan tanah dan lumpur. Jadi, janganlah buru-buru menamakan yang tersembunyi di balik dada Anda itu scbagai hati. Scbab, hati yang lebih tinggi dari langit yang paling tinggi hanyalah hati para Nabi dan orang-orang yang bersih jiwanya.”
Namun, yang dikatakan Rabi’ah Al-adawiyah itu sama sckali tidak bermaksud menghancurkan hati para pembaca dan menghambat tekad mereka. Karena itu, ia menambahkan: “Dagangan Anda yang tidak disukai itu akan dibeli. Sedangkan yang membelinya, tidak lain Adalah Allah Yang Maha Pemurah, semata-mata untuk menampakkan kemurahan dan memberikan karuniaNya. Dia tidak bakal mencampakkan hati di antara beberapa hati, karena Dia tidak bermaksud mengambil untung.”
Rabi’ah Al-adawiyah kcmudian menasehatkan para pembaca, agar biasa terlepas dari sangkar emas yang bernama perut, lalu terbang ke angkasa raya hati yang luas, sambil melihat keajaiban-keajaiaiban ciptaan Allah serta mcnikmati kelezatan jiwa. Ia berkata: “Perut dan mengamdi materi adalah tirai tebal yang dapat menghalangi anda dengan Tuhan. Apabila tirai itu diangkat, maka antara anda dan Dia tidak ada lagi batas yang menghalangi. Oleh sebab itu, tariklah batas-batas perut dan majulah ke hati Anda niscaya akan dating penghormatan Dzat Yang Maha Pengasih kepada Anda, tanpa ada lagi tabir pembatas.”

Kearifan orang-orang pander, idries shah, pustaka hidayah bandung1996
Bashirah shufiyah jejak pengabdia sufi menapak jalan marifah, djamaluddin ahmad al-buny, mitra pustaka yogyakarta 2002
Kebeningan amal tersembunyi, walid sa’id bahkam, darul falah Jakarta, 2002